Secara psikologis, aktivasi retikular penerjemah umumnya tidak sehebat kondisi-kondisi yang dipaparkan tadi. Tidak ada serangan mendadak, rasa malu, terkejut, atau takut. Peningkatan adrenalin cukup sedikit sehingga tidak memunculkan kebutuhan mendesak untuk melakukan aktivitas fisik, atau rasa marah karena contoh contoh peristiwa seperti tadi yang lebih drastis. Namun, tetap saja penerjemah bereaksi terhadap aktivasi retikular itu dengan jalan meningkatkan aktivitas fisiknya.
Berdiri dan berjalan resah mondar-mandir; menghampiri rak buku, menarik keluar buku-buku referensi, dan membolak balik halamannya, menghentak-hentakkan kaki dengan tidak sabar (sebuah alasan yang baik agar tidak mencari buku-buku referensi dari CD-ROM, atau menemukan referensi versi on-line pada World Wide Web: senang sekali bisa menemukan alasan untuk jalan-jalan mengelilingi ruangan!); menghempaskan punggung ke sandaran kursi, mengetuk-ngetuk jari pada lengan kursi dan menatap ke luar seolah-olah mengharapkan solusi itu melayang masuk melalui jendela. Banyak pengelola jasa penerjemah yang frustasi berat karena tidak mampu memecahkan suatu masalah. Mereka akan tetap gelisah dan tidak dapat kembali sepenuhnya ke keadaan bawah-sadar yang produktif sampai masalah itu terpecahkan: tengah malam buta dan tech writer klien sedang tidak aktif, teman-teman dan keluarga yang mungkin dapat membantu sedang tidak ada di rumah, atau tidak tahu; kamus dan ensiklopedi tidak memberikan bantuan ("Mengapa aku tidak sanggup meneruskan pekerjaan dan membayarkan harga konyol itu untuk membeli kamus yang lebih besar, lebih baru, dan lebih spesifik, menit menit yang terlewatkan tanpa jawaban apa pun dari Lan tra-L atau FLEFO terasa amat panjang.
Ketika akhirnya solusi itu muncul, jika memang terasa benar-benar tepat, penerjemah menghela nafas lega dan merasa santai. Segera ia meneruskan menerjemah kembali, dengan riang melupakan dunia luar. Sering-seringnya, keragu-raguan itu tetap ada dan penerjemah berusaha keras menunda-nunda masalah itu sampai dapat ditemukan ja
waban yang lebih baik, tetapi selalu saja dengan was-was kembali lagi seakan masalah itu seperti sebuah gigi mati, mendorongnya dengan hati-hati sembari berharap dapat menemukan obatnya seakan-akan secara kebetulan.